Dipandang dari sudut kemanusiaan, kita semua sepakat bahwa aksi terorisme adalah perbuatan terkutuk, sebab aksi tersebut tidak bisa memilih korban. Dalam hampir seluruh aksi terorisme, korban terbesar adalah orang yang tidak bersalah, bukan sasaran utama yang diincar oleh pelaku terornya.

Namun, kendati semua orang sepakat mengutuk aksi terorisme, ternyata sampai saat ini manusia tetap gagal merumuskan sebuah definisi tegas tentang apa yang disebut dengan “terorisme.” Banyak versi didendangkan untuk berapologi, tapi sejatinya hanya ada satu penyebab: bahwa ‘aksi terorisme’ itu ternyata lebih didekati dari sudut kepentingan politik masing-masing negara, bukan dianggap sebagai masalah kemanusiaan bersama yang harus dihadapi bersama oleh dunia secara kompak.

Kegundahan yang sama juga diungkapkan oleh Dr. Hasan Keleb, direktur perlucutan senjata dan ketahanan departemen luar negeri RI. “Sampai sekarang tidak ada definisi secara universal apa itu terorisme. Tidak ada satupun negara yang berani mengatakan: terorisme adalah demikian,” katanya dalam diskusi bulanan Majelis Pemuda dan Pelajar PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Hasan lantas menjelaskan betapa beratnya orang mendefinisikan terorisme. “Ada adagium yang mengatakan, one man is a terrorist is another man freedom fighter, teroris untuk satu orang merupakan pejuang kemerdekaan bagi orang lain,” katanya. Ia lalu mencontohkan organisasi HAMAS di Palestina.

“Deplu AS memasukkan Hamas dalam daftar organisasi teroris. Tapi kalau kita tanya warga Palestina Hamas juga lah yang membangun sekolah, memberi makanan bagi fakir miskin. Bagi mereka Hamas adalah pejuang kemerdekaan yang berjuang melepaskan mereka dari belenggu Israel.”

Ada juga yang bilang, teroris hari ini mungkin jadi pemimpin di masa depan. Kita lihat Yitzhak Rabin, Yasser Arafat, dan Xanana Gusmao. Xanana dulu ditahan disini, disebut teroris, tapi sekarang menjadi presiden Timor Timur, dan diterima di Jakarta sebagai tamu negara.

Perdebatan di PBB tentang definisi terorisme juga mandek, akibat perbedaan pendapat antara negara-negara Barat dan negara-negara anggota OKI (Organisasi Konperensi Islam). OKI tegas menolak definisi terorisme dikaitkan dengan pejuang kemerdekaan. Menurut mereka, pejuang kemerdekaan tidak boleh dikategorikan sebagai teroris. “Amerika tidak suka itu karena yang mereka bidik sebetulnya dua, yaitu Palestina dan Irak. Bagi Amerika, tindakan kekerasan terhadap tentaranya di Irak adalah terorisme. Tapi bagi OKI itu bagian dari perjuangan orang Irak yang tak bisa menerima kehadiran pasukan AS,” kata Hasan, yang mantan aktifis Pelajar Al-Irsyad Cirebon ini.

Melihat kentalnya motif politik Amerika dan negara-negara Barat itu maka sepertinya mustahil bakal terjadi kesepakatan global definisi ‘terorisme’ itu. Akibatnya kita semua akan melihat isu terorisme ini bakal terus bergulir kesana kemari bak bola api liar yang membakar sasaran-sasaran yang dikehendaki negara besar (baca: Barat).

(MA)