Abdullah Jaidi, Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Ketua Umum Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Abdullah Djaidi, mengatakan tidak sepakat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan. Dari putusan tersebut, warga negara yang menganut aliran kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom agama dk KTP-elektronik ( KTP-el).

Ia mengatakan, putusan tersebut bisa menimbulkan gesekan di masyarakat antara kelompok agama dengan pihak-pihak yang menyatakan dirinya sebagai aliran kepercayaan. “Aliran kepercayaan tidak sejajar dengan agama. Karenanya, tidak patut dimasukkan dalam kolom agama di KTP,” kata Abdullah, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (7/11) malam WIB.

Ia mengatakan, hal itu telah lama menjadi polemik. Saat para tokoh Islam tidak menyetujui dan mempertanyakan dasar dari aliran kepercayaan masuk dalam kolom agama di KTP.

Namun, para tokoh agama justru mempertanyakan definisi dari aliran kepercayaan itu. Ia mengatakan, sebuah kepercayaan pada dasarnya menyangkut keimanan. Namun, ia menegaskan agar kepercayaan itu tidak bertentangan dengan aturan yang tertera dalam Pancasila.

Karena itu, ia mempertanyakan dasar dari keputusan MK mengesahkan uji materi para penganut kepercayaan tersebut. Menurutnya,MK harus jeli melihat apakah kepercayaan itu bertentangan atau tidak dengan Pancasila.

“Kepercayaan itu kepada siapa? Kalau umat beragama sudah jelas. Keimanan itu menyangkut keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai sila pertama. Kalau tidak, berarti tidak sesuai dengan falsafah negara,” tambahnya.

Selain itu, Abdullah mengatakan dengan dicantumkannya penganut kepercayaan di kolom agama KTP dikhawatirkan bisa menyuburkan hidupnya berbagai macam aliran kepercayaan. Yang nantinya, kata dia, akan mempersulit kondisi masyarakat itu sendiri.

Dengan mentolelir aliran kepercayaan pada kependudukan sipil, dinilainya akan memunculkan beraneka ragam aliran kepercayaan lainnya. “Nantinya akan jadi PR baru dalam hubungan kemasyarakatan,” ujarnya.

Sebelumnya, pada Selasa (7/11), MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata ‘agama’ yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk ‘kepercayaan’.

Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.*

Sumber: Republika Online, 8 November 2017