Oleh Ustadz Suhairi Umar

Selama kurang lebih 350 tahun, Belanda menjajah Indonesia. Selama menjajah, Belanda banyak melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan yang tentunya bukan untuk bangsa Indonesia semata, tetapi untuk melanggengkan kekuasaan penjajah.

Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, tentunya segala yang telah dibangun, menjadi aset pemerintah Indonesia.

Satu sisi, kita mengutuk penjajahan, karena tidak sesuai dengan konsep dasar kemanusian yang bebas dan merdeka, juga karena penjajah menguras sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya.

Akan tetapi, di sisi lain kita “berterima kasih” atas warisan infrastruktur yang ditinggalkan mereka. Ada kalanya para penyamun, berbuat baik dengan hasil rampasannya, meskipun kebaikan itu hanya untuk melapangkan jalan mereka selanjutnya.

Sistem transportasi kita, baik darat, laut, dan udara merupakan sisa peninggalan Belanda. Seperti, jalur kereta api di pulau Jawa dan Sumatera, jalan raya, bendungan, dan saluran irigasi.

Begitu juga dengan hutan di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Papua, Sulawesi, dan pulau lainnya, adalah warisan penjajah. Semuanya dibangun untuk memperkuat hegemoni mereka terhadap Indonesia, dan menguras habis seluruh kekayaan kita.

Hutan dan perkebunan Indonesia, ditanam oleh nenek moyang kita, atas perintah mereka dengan konsep kerja paksa. Tetapi sekarang, kita merasakan manfaatnya.

Namun, sangat disayangkan, kita belum bisa memelihara hutan dengan baik, bahkan banyak hutan menjadi gundul karena pembalakan liar.

Pembalakan yang dilakukan untuk memuaskan ketamakan segelintir orang, dan merugikan jutaan orang dan binatang yang menggantungkan hidupnya kepada kelestarian hutan. Indonesia harus disadari, merupakan paru-paru dunia yang harus dijaga.

Akibat perbuatan menebangi hutan, banjir dan tanah longsor sering terjadi. Iklim yang tidak menentu akhir-akhir ini disinyalir akibat dari penebangan hutan yang tidak bertanggung jawab.
Bahkan, pemanasan global yang terjadi sekarang, disebakan ulah manusia yang menebangi pohon tanpa menanamnya kembali.

Global warming adalah fenomena alam yang dialami seluruh dunia termasuk Indonesia. Terjadi akibat meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi.

Penyebab utama pemanasan ini, adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, gas alam, karbondioksida, dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer.

Ketika atmosfer berjibun dengan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas matahari yang dipancarkan ke bumi. Akibatnya, bumi kita makin panas, bencana di mana- mana, badai, gempa, gunung meletus.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup di zaman Pak SBY pernah menyampaikan di media, bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh pemanasan global lebih berbahaya dari pada terorisme.

Dalam pandangan Islam, menebangi hutan dengan membabi buta, secara tidak langsung mengundang kiamat lebih cepat.

Dalam Alquran surat Al Qashas ayat 27, Allah memperingatkan manusia dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Kerusakan di muka bumi disebabkan oleh keserakahan manusia. Maka, langkah yang paling tepat untuk menanggulangi bencana dan pemanasan global adalah dengan hidup hemat, bersahaja, dan sederhana.

Jauh sebelum para ilmuan menyarankan hidup sederhana, guna menjaga keberlangsungan alam, Rasulullah saw. dan para salafus sholeh telah mengenalkan hidup sederhana, meski sesungguhnya mereka orang kaya.

Rasulullah ketika menikahi Khadijah memberikan mahar dua puluh ekor unta. Begitu juga Usman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, adalah contoh saudagar kaya yang hidup secukupnya.

Kehidupan glamor yang memperturutkan hawa nafsu, berbanding lurus dengan konsumsi yang berlebihan.

Permintaan yang tinggi terhadap produksi konsumtif dan gaya hidup, menjadikan pabrik semakin banyak dan tidak terkendali. Dari aktivitas pabrik yang menggunakan pemakain listrik itulah, menjadi penyebab bumi makin tidak stabil.

Anjuran dan contoh kehidupan Nabi yang sederhana, berdampak besar pada stabilitas dan keberlangsungan kehidupan di bumi.

Kehidupan Rasulullah jauh dari sikap berlebih-lebihan. Beliau dalam menggunakan sesuatu sesuai dengan keperluannya. Setetes air yang digunakan untuk bersuci sekalipun, sangat diperhatikan oleh Rasulullah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik disebutkan, “Rasulullah biasa berwudu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’ (empat mud).” (H.R. Bukhari Muslim). Wallahu A’lam.

Sumber: narasihikmah.com