Tidak lama lagi kita akan memasuki bulan mulia, salah satu bulan di antara bulanbulan haram (al-asyhurul-hurum), yaitu Dzulhijjah. Sangat penting bagi umat Islam secara umum, dan juga khususnya segenap pengurus dan anggota Al-Irsyad Al-Islamiyyah, untuk menyiapkan diri baik secara spiritual dan keilmuan. Oleh karena itu, kami menyeru dan mengingatkan bahwa:

1. Bersiap-siap untuk menyambut sepuluh hari awal Dzulhijjah yang agung denganberbagai agenda da’wah dan ibadah. Allah Ta’ala berfirman:
Demi fajar, dan malam yang sepuluh. (Q.S. Al Fajr (89): 1-2)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan makna(Dan demi malam yang sepuluh): maksudnya adalah sepuluh haripertama dari bulan Dzulhijjah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubair, Mujahid, dan lebih dari satu kalangan salaf dan khalaf. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thayyibah)

Keutamaannya pun juga disebutkan dalam As Sunnah. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu a`laihi wasallam bersabda:
Tidak ada amal yang lebih afdhal dibanding amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak pula oleh jihad, kecuali seseorang yang keluar untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan sesuatu apa pun.”(HR. Bukhari No. 969)

Dalam riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tiada hari-hari yang beramal shaleh di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari pada hari-hari yang sepuluh ini, para sahabat berkata: Ya Rasulallah, tidak pula jihad fi Sabilillah? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak pula jihad fi Sabilillah, kecuali seorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu dia tidak kembali pulang dengan sesuatu pun darinya (terbunuh di jalan Allah).

Maksud dari “pada hari-hari ini” adalah sepuluh hari Dzulhijjah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Lihat juga Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At Tafasir)

2. Amal-amal shalih apa pun bisa kita lakukan antara tanggal satu hingga sepuluh Dzulhijjah; baik sedekah, shalat sunnah, shaum dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah, silaturrahim, dakwah, dan lainnya.

3. Khusus shaum, dianjurkan berpuasa selama sembilan hari awal Dzulhijjah. Sebagaimana hadits berikut:

“Bahwa Nabi berpuasa pada hari Asyura, sembilan hari dari bulan Dzulhijjah dan tiga hari setiap bulan, hari Senin pertama tiap bulan dan dua hari Kamis.” (HR. An Nasa’i no. 2372. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i no. 2372)

Tertulis dalam Al Mausu’ah :
Para ahli fiqih sepakat sunahnya puasa di hari-hari delapan di awal dzulhijjah sebelum hari arafah .. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/91)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
Di antara shaum yang disunnakan adalah shaum bulan sya’ban, shaum 9 hari di awal Dzulhijjah, dan tentang semua ini haditsnya begitu banyak. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/386)

4. Memanfaatkan waktu tersebut untuk banyak berdzikir, khususnya bertakbir. dalam kitab Shahih Al Bukhari, sebagaimana riwayat berikut:

Dahulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar di hari-hari yang 10 (1 -10 Dzulhijjah), mereka berdua bertakbir, dan manusia pun ikut bertakbir mengikuti takbir mereka berdua.(Shahih Al Bukhari, Bab Fadhlil ‘Amal fi Ayyamit Tasyriiq, 1/39)

Ini juga menjadi pegangan Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Beliau menjelaskan tentang tafsir ayat:
“Dan mereka mengingat nama Allah dihari-hari yang telah diketahui”(QS. Al Hajj: 28)

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: Ayyamul ma’lumat adalah Ayyamul ‘asyr (10 hari Dzulhijjah), sedangkan Ayyamul ma’duudat adalah hari-hari tasyriq.(Shahih Al Bukhari, Ibid)

Bukan hanya Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, tapi juga para sahabat dan tabi’in lainnya. Imam Ibnu Katsir mengatakan:
“Semisal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari, Mujahid, ‘Atha, Sa’id bin Jubair, Al Hasan, Qatadah, Adh Dhahak, ‘Atha Al Khurasani, dan Ibrahim An Nakha’iy. Ini juga pendapat madzhab Syafi’iy, dan pendapat yang terkenal dari Ahmad bin Hambal.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/415)

5. Tetap berbahagia dan menyambut dengan khidmat datangnya hari raya (‘Idul Adha) bersama keluarga, walau di Indonesia tidak bisa memberangkatkan jamaah haji.

Anas Radhiallahu ‘Anhu bercerita: Saat Rasulullah shallallahu a`laihi wasallam sampai ke Madinah orang-orang Madinah punya dua hari yang biasa mereka bersenangsenang di masa Jahiliyah. Maka, Rasulullah bersabda: “Allah telah ganti untuk kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Fitri dan Penyembelihan (Idul Adha). (HR. Ahmad no. 12006, Syaikh Syu’aib al Arnauth: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad, 19/65)

Hadits ini menunjukkan, hari raya sudah ada sejak awal-awal di Madinah, padahal saat itu ibadah haji kaum muslimin belum dilaksanakan. Ibadah haji baru dilaksanakan Rasulullah shallallahu a`laihi wasallam dan para sahabat di tahun 10 Hijriyah; haji wada’.

6. Ada pun pelaksanaan shalat ‘Idul Adha, tidak berbeda dengan pelaksanaan shalat ‘Idul Fithri yang lalu. Untuk lingkungan yang menurut pantauan pihak yang berwenang sudah aman dan terkendali, hendaknya melaksanakan shalat ‘Idul Adha bersama umat Islam baik di lapangan atau masjid. Ada pun bagi yang lingkungannya masih berbahaya, sebaiknya shalatnya di rumah sebagaimana penjelasan pada edaran tentang shalat ‘Idul Fihtri yang lalu.

7. Menghimbau untuk berqurban bagi yang sedang lapang rezeki, sebagai bagian dari tetap menyiarkan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari Abu Hurairah Radhiallhu ‘Anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah No. 3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7334)

8. Pelaksanaan qurban hendaknya tetap memperhatikan protokol kesehatan. Baik sejak pemilihan hewan, penitipan, penyembelihan, dan pendistribusian. Seperti penggunaan masker, jaga jarak, hand sanitizer, dan lainnya.

9. Untuk menekan kerumunan massa, penyembelihan bisa dilaksanakan juga di harihari tasyriq. Dari Jubair bin Muth’im Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah shallallahu a`laihi wasallam bersabda:
“Setiap hari-hari tasyriq merupakan waktu penyembelihan.”(HR. Ahmad No. 16751. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “shahih lighairih.” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 16751).

Demikian bayan ini disampaikan semoga menjadi pengingat dan pengetahuan buat kita semua untuk beramal shaleh semaksimal mungkin dalam hari-hari yang mulia dan sangat berharga ini.

Nashrun minallahi wafathun qarieb.
Billahi at-taufiq wa al-hidayah.