“Al-Irsyad itu salah satu bapak kandung kemerdekaan Indonesia, karena sejak berdirinya Al-Irsyad bersama ormas-ormas lain seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah dan lainnya sudah mendidik dan membangkitkan semangat bangsa Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka,” demikian ditegaskan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan saat menutup secara resmi perhelatan Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah ke-40 di Hotel Sahira, Bogor (Jawa Barat) pada Jumat (17/11) malam.

Zulkifli menerangkan, kebangkitan Indonesia di abad ke-20 tidak bisa dilepaskan dari kelahiran ormas-ormas Islam yang bersifat nasional seperti Sarekat Islam di tahun 1905, Muhammadiyah (1912) dan Al-Irsyad (1914). “Baru setelah itu lahir sumpah pemuda. Jadi jangan lupa, peran umat Islam itu besar sekali,” jelasnya.

.“Jadi, Indonesia ada sebetulnya karena ada Al-Irsyad. Itu sejarah, fakta. Saya tidak muji-muji. Maka, kalau sekarang ada yang merasa lebih Pancasila dari Al-Irsyad, keliru itu.”

Politisi kelahiran Lampung Selatan pada 17 Mei 1962 ini juga menegaskan bahwa pendiri Al-Irsyad, Syekh Ahmad Surkati sangat pantas menjadi pahlawan nasional karena jasa-jasanya mendidik bangsa. Ia meminta Al-Irsyad segera menyelesaikan kelengkapan pengajuan gelar pahlawan nasional itu dengan mengikuti alur yang ada, dan ia siap membantu bila ada kendala birokrasi. “Gelar pahlawan nasional untuk Syekh Ahmad Surkati sungguh sangat pantas,” kata Zulkifli.

Dalam kesempatan yang sama, Zulkifli Hasan juga menjelaskan perubahan negara pasca-reformasi yang telah membawa perbaikan dalah hal kebebasan dan demokrasi. Namun ia juga menyorot berbagai kekurangan yang menonjol saat ini, seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, korupsi, dan distrust (hilangnya saling percaya).

“Kemiskinan masih banyak, bahkan kemiskinan ekstrem. Padahal konstitusi kita mengatakan bahwa negara harus melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Jadi, kalau ada orang mati karena tak bisa bayar rumah sakit atau kelaparan maka negara telah melanggar konstitusi,” katanya.

Zulkifli juga menyorot persaudaraan kebangsaan yang saat ini rusak, penuh dengan rasa saling curiga. “Yang lebih bahaya, orang yang melaksanakan dan mencintai agamanya saat ini dianggap jauh dari rasa kebangsaan, takbir dianggap radikal padahal kalimat takbir menjadi inspirasi Bung Tomo, dan orang yang melaksanakan agama sungguh-sungguh dianggap intoleran. Ini kan bahaya,” tegasnya.

Ia merasa heran, mengapa Pilkada yang sebenarnya soal biasa, perhelatan lima tahun sekali, tapi lalu dipakai untuk memecah belah orang dengan kalimat: Kami pancasila, kalian anti pancasila. Kami cinta NKRI dan kalian tidak. “Mereka merasa kastanya lebih tinggi dari umat Islam. Kami Ini berbahaya, memecah-belah,” tegasnya. Umat Islam tidak pernah lepas dari perjuangan RI dari sebelum kemerdekaan, jadi jangan dianggap kasta kelas dua.”

Ia menerangkan, orang-orang yang taat beragama sebenarnya jalan mencintai negerinya. Takbir itu pancasilais, bukan intoleran. Melaksanakan agama dengan sungguh-sungguh itu berarti cinta NKRI.

Sebagai pimpinan MPR ia pun mengajak Al-Irsyad Al-Islamiyyah untuk bersama-sama menjahit kembali merah putih yang agak koyak-koyak saat ini dan memperkuat persatuan bangsa. “Saya berharap Al-Irsyad Al-Islamiyyah menjadi pelopor untuk itu,” katanya.*