Oleh Ustadz Said Baumar

Pada suatu hari datang Abu Dzar Al-Ghifari dan bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi aku jabatan apa-apa?” sambil menepuk bahu Abu Dzar Al-Ghifari yang zuhud itu/ Nabi menjawab, “Wahai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah.”

Dan sebagai amanah, sabda Rasulullah, jabatan kelak pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya (HR. Muslim).

Sabda Nabi itu tidak hanya untuk Abu Dzar, tetapi untuk semua umatnya. Kedengarannya seperti mengancam, tapi seorang Nabi yang peduli pada umatnya itu sedang mengingatkan. Ada tiga kriteria pejabat yang tersembunyi dalam pesan di atas yaitu: amanah, mengambil dengan benar, dan menunaikan dengan baik.

Kriteria di atas tidaklah sederhana. Sebab, pejabat dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekadar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh Al-Qur’an haruslah orang yang kuat dan terpercaya. “Sungguh sebaik-baik pelayan yang engkau ambil adalah laki-laki yang kuat lagi dapat dipercaya,” (QS. Al-Qashas, 28: 26).

Kuat pada ayat di atas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah (dapat dipercaya) adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka, sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pejabat. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya.

Nabi pun konsisten dengan kriteria tersebut, Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan Pimpinan Militer, padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Namun, ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah.

Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.

Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas jabatan dan kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khianat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka Al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh Raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafidz), dan berpengetahuan (alim) (QS. Yusuf 12: 54).

Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi, yaitu hafidz, artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafidza) atau menyia-nyiakannya. (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Syarat yang satu lagi adalah sifat Al-‘Alim, artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka besar jika pejabat dan pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diingatkan Umar bin Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Di sini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.

Pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafidz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas jabatan dan kepemimpinannya.