Oleh Ustadz Suhairi Umar

Membahas akhlak tidak bisa lepas dari figur Rasulullah saw. karena beliau adalah hamba yang dipuji Allah karena keagungan akhlaknya, selain itu nabi diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia. Beliau bersabda, “Tidaklah aku diutus ke dunia kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (H.R. A Bazzar)

Akhlak menurut Imam Ghazali, adalah sesuatu yang mengakar kuat dalam jiwa seseorang dan mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa harus dipikir terlebih dahulu. Jika perbuatan yang dilakukan baik maka disebut akhlak mulia (akhlak mahmudah). Tetapi, jika perbuatan yang dilakukan jelek maka disebut akhlak tercela (akhlak madzmumah). Definisi ini memberikan pengertian bahwa perbuatan yang dilakukan bukan didasari keyakinan dalam jiwa tidak disebut akhlak. Begitu juga halnya perbuatan yang dilakukan tidak secara spontan, masih dipikir terlebih dahulu atau dibuat-buat (pencitraan) bukan termasuk kategori akhlak.

Misalnya, ketika ada orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin di suatu daerah, ia sebelumnya tidak biasa salat berjamaah di masjid, jarang menghadiri kajian, jauh dari ulama, jauh dari anak yatim, namun ketika mendekati waktu pemilihan terlihat sering ke masjid, mendatangi ulama, dan menyantuni anak yatim, maka hal itu tidak bisa disebut akhlak. Karena akhlak adalah tabiat atau kebiasaan yang mengakar kuat dalam jiwa karena sudah sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, tanpa ada maksud apapun dalam melaksanakannya kecuali hanya untuk mencari rida Allah Swt.

Akhlak mulia diperoleh dengan cara bermujahadah (bersusah payah) pada awalnya agar menjadi kebiasaan pada akhirnya. Seperti orang yang ingin tulisannya baik, maka ia akan menulis terus menerus dan mengulangi berkali-kali. Ini bukanlah hal yang aneh bagi manusia, apalagi mereka diberikan akal dan pikiran. Binatang juga mengalami hal serupa ketika akan dirubah kebiasaannya. Kuda pada awalnya tidak bisa ditunggangi. Ia akan lari dan meronta ketika ada sesuatu di punggungnya. Kuda harus dipaksa membawa pelana, ditunggangi dan dicambuk untuk berjalan, berlari, atau berhenti sesuai permintaan tuannya. Pada akhirnya, kuda akan menjadi kendaraan yang bisa digunakan untuk melayani manusia. Begitu juga dengan anjing pemburu atau pelacak, pada awalnya tidak punya keahlian khusus dalam berburu atau mendeteksi benda-benda berbahaya. Tetapi, setelah melalui latihan terus menerus, akhirnya bisa menjadi anjing yang bisa diandalkan.

Akhlak mulia sangat berat pada awalnya untuk dilakukan oleh manusia. Butuh latihan dan pembiasaan terus menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga manusia akan melakukannya dengan ringan dan tanpa pertimbangan apalagi paksaan. Pada akhirnya, ketika akhlak sudah menjadi kebiasaan, manusia akan merasakan nikmatnya. Bayi saat akan disapih dari susu ibunya sangat susah dan menguras air mata. Bayi bisa menangis sepanjang malam untuk mendapatkan ASI dari ibunya. Ibu juga tidak tega melihat anaknya meronta dan meminta. Ibunya juga berurai air mata menahan perasan iba kepada anaknya. Tetapi, ia harus tega demi kebaikan anaknya. Ibu menyapihnya demi kemandirian dan kedewasaan anaknya. Ibu tidak ingin anaknya bergantung terus menerus kepadanya. Anak harus dilatih, dan ini memang menyakitkan pada awalnya.

Syair dalam bahasa arab yang ditulis oleh Imam Busiri menyatakan, “Jiwa itu seperti bayi, jika dibiarkan akan terus menyusu kepada ibunya, namun jika engkau menyapihnya ia akan melepaskannya.”

Akhlak mulia induknya ada empat yaitu: hikmah, adil, keberanian, dan iffah (menjaga kehormatan). Hikmah adalah mendapatkan kebenaran dengan ilmu dan amal. Hikmah bisa dikatakan sebagai pangkal dari akhlak mulia. Allah berfirman, “Barang siapa diberi Al Hikmah, maka sungguh dia telah diberikan kebaikan yang banyak.” (Q.S. Al Baqarah: 269) Ibnu Abbas ketika mengomentari firman Allah, “walaqad ataina lukmanal hikmata” (Q.S. Lukman: 12) beliau mengatakan bahwa al hikmah di sini adalah akal, pemahaman, dan kecerdasan selain kenabian.

Sedangkan adil adalah kekuatan jiwa yang bisa mengendalikan amarah dan syahwat dan mengantarkan kepada al hikmah. Dan keberanian adalah emosi yang terkendali oleh akal pikiran dan digunakan untuk mengambil langkah serta tindakan. Sedangkan ‘Iffah (menjaga kehormatan) adalah menundukkan kekuatan syahwat dengan kekuatan akal dan syariat.

Akhlak yang mulia yang akan mengantarkan manusia ke dalam kehidupan yang penuh bahagia di dunia dan akhirat. Akhlak akan mengangkat derajat seseorang mencapai tingkatan malaikat. Sedangkan akhlak tercela akan membinasakan pelakunya. Seperti racun yang sangat berbisa. Akhlak tercela akan menjauhkan pelakunya dari rahmat Allah Swt. Wallahu A’lam.

Referensi

Umar bin Ahmad Baraja, Akhlak lil Banin, Juz 4. Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan Wa Auladuhu, Surabaya, Indonesia. Hlm. 3-6.