Oleh Ustadz Suhairi Umar
Sebut saja namanya Ali. Ia duduk di kelas satu sekolah dasar. Tasnya sudah mulai berat dengan buku-buku pelajaran yang tebal. Punggungnya yang kecil sepertinya tidak kuat membawa beban di dalamnya. Tidak heran, jika jalannya agak lambat dan nafasnya tersengal-sengal ketika sudah sampai di depan kelas.
Dari pintu gerbang sekolah menuju kelasnya memang cukup melelahkan. Maklum saja isinya mushaf Alquran, buku modul terpadu, beberapa buku tulis, kotak alat tulis, dan satu botol air minum yang diisi setengah.
Ketika ditanya kenapa diisi setengah? Ia menjawab, “Biar tidak keberatan”. Tas yang sudah berat itu pun terkadang masih ditambah lagi dengan buku cerita yang menurutnya menarik. Buku itu ingin ia diperlihatkan kepada teman-temannya di sekolah.
Sampai di depan pintu kelas ia disambut teman-temannya untuk bermain. Kadang bermain kejar-kejaran, petak umpet, kadang juga sepak bola kertas. Bola kertas yang dibuat dari koran bekas atau buku bekas yang di remas-remas hingga berbentuk seperti bola.
Inilah yang membuat ia lupa dengan segala beban berat yang tadi dibawanya. Moment inilah yang ia tunggu dari tadi malam. Teman adalah magnet utama baginya. Memang, anak tanpa bermain seperti ikan tanpa air. Anak tanpa teman ibarat sampan kehilangan dayungnya.
Ketika bel berbunyi semuanya berubah, “Ah..betapa cepatnya waktu berjalan. Baru bermain sebentar sudah bel.” Gerutu anak itu, dan diikuti oleh teman-temannya. Akan tetapi, masih ada waktu lain yang ia tunggu, waktu istirahat. Semua anak akan berlarian berebut jajanan di kantin sekolah. Setelah itu dilanjutkan permainan yang tadi sempat tertunda oleh bunyi bel.
Uang Saku
Lima tahun yang lalu, Ali membawa uang jajan Rp 2000 per hari. Dia terlihat membawa dompet kecil dan isinya Rp.15.000. “Banyak sekali uangnya mas?” Tanya wali kelasnya. “Ini untuk satu pekan ustazah”. “Lho, kok Rp 15.000 apa ngak kebanyakan?, biasanya, kamu kan uang sakunya Rp.2000 per hari, kalau dikali enam hari berapa ya..?”.
Ali menjawab, “Rp 12.000 ustazah, sisanya untuk ditabung kata umi”. Ustazahnya menjawab, “Oh..begitu, bagus sekali, sekarang tabungannya berapa?”. “Rp 100.000, ustadzah”. Wah banyak juga ya!, Untuk apa uang tabungannya nanti?”. Dengan polos Ali menjawab, “mau beli mainan”.
Sebelum diskusi Ali dan gurunya terjadi, ibunya telah menjelaskan kepada walikelas kalau ia sedang melatih anaknya mengatur uang jajannya sendiri. Ali akan mendapatkan uang dari ibunya dengan dua cara. Pertama, rutin. Artinya setiap hari Senin ibunya selalu menyiapkan Rp. 15.000 untuk satu pekan. Tidak ada pembicaraan masalah uang jajan sebelum Hari Senin berikutnya.
Kedua, hadiah. Anak itu akan mendapatkan uang tambahan jika buku Anak Sholeh-nya terisi semua. Buku Anak Sholeh adalah buku pantauan kegiatan anak di rumah yang meliputi; salat lima waktu, mengaji, baca buku, dan membantu orangtua. Tapi sebaliknya jika kosong atau tidak melakukan seperti yang diminta di dalam buku, Ali tidak akan mendapatkan uang tambahan dari ibunya.
Beberapa bulan terakhir, Ali terlihat lebih rajin salat jamaahnya, dan lebih tekun menghafal juz amma. Ali juga sering membantu orangtuanya di rumah, meskipun hanya sekedar menyiapkan bukunya sendiri, membereskan mainan, meletakkan piring di tempat cucian setiap selesai makan.
Bahkan, tidak jarang Ali membangunkan kedua orangtuanya saat azan subuh berkumandang, kemudian ia bergegas mendahului ayahnya ke masjid. Ali bertekad untuk melakukan semua yang ada dalam buku Anak Sholeh-nya. Ia ingin segera mempunyai mainan yang selalu ia ceritakan kepada ibunya.
Bermula dari membiasakan anak mengatur uangnya sendiri untuk mendapatkan yang diinginkan, ibu Ali melihat perkembangan positif dalam diri anaknya, dan berdampak pada aspek lainnya. Kata pepatah, “Sekali berlayar, satu, dua, bahkan tiga pulau terlampaui. Sekali tepuk, dua, tiga, lalat dapat dilumpuhkan”.
Dalam sepekan ibu Ali hampir bisa dipastikan memberi hadiah kepada anaknya. Karena Ali melakukan semua yang diminta dalam buku Anak Sholeh-nya. Sambil memberikan uang hadiah, ibu mendekap anaknya seraya berbisik:” Nak, ini hadiah dari umi, dan nanti hadiah dari Allah Swt. Jauh lebih besar dan lebih kekal.”
Renungan
Dari cerita di atas dapat diambil beberapa pelajaran, diantaranya;
Pertama, figur seorang ibu sangat penting dan strategis dalam mendidik anak-anaknya. Dengan tidak bermaksud mengecilkan peran ayah yang juga sangat besar.
Dari ibu anak belajar berbicara pertama kali, dan dari seorang ibu anak belajar mengenal Tuhannya (akidah), meniru ibadahnya (fikih), mengikuti tingkah lakunya (akhlak), dan berlatih hidup mandiri.
Figur ibu akan selalu diidolakan oleh anaknya sampai kapan pun. Sangat pantas ketika Rasulullah menempatkan posisi kaum ibu lebih tinggi di atas kaum ayah. Juga tidak berlebihan jika dikatakan dalam pepatah arab:
”Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika kamu menyiapkan para ibu dengan baik, maka sebenarnya kamu sudah menyiapkan generasi terbaik.”
Kedua, kerjasama orangtua dan guru. Komunikasi yang baik dan sinergis antara pendidik di sekolah dan di rumah sangat penting. Keterpaduan antara sekolah dan rumah melahirkan visi misi dan langkah yang sama dalam mendidik anak. “Jika di kelas ada tiga puluh anak, berarti di sana ada tiga puluh karakter, keinginan, gaya belajar dan cita-cita yang berbeda-beda”. Begitu kata para ahli pendidikan modern.
Setiap orangtua memiliki mimpi masing-masing terhadap anaknya. Jika dikomunikasikan dengan baik dengan gurunya di sekolah, akan timbul kerjasama yang saling menguatkan untuk mewujudkan cita-cita. Seharusnya, inilah yang dilakukan oleh orangtua, karena kewajiban mendidik anak ada di atas pundak orangtua dan sekolah sifatnya membantu dalam mewujudkannya.
Ketiga, mengontrol keinginan anak. Setiap anak pasti punya kecenderuangan bermain lebih besar dibanding lainnya. Dunia anak adalah dunia bermain. Salah jika ada anak yang dipaksa mengikuti pola hidup orang dewasa yang kurang suka bermain.
Anak dengan dunia bermainnya hakikatnya sedang belajar berfikir dan melakukan tentang kehidupan. Kehidupan yang sederhana dan sesuai jangkauan akal fikiran mereka. Keinginan anak untuk memiliki mainan bisa menjadi jembatan pengantar idealisme dan cita-cita orangtua.
Anak yang ingin membeli mainan tidak serta merta dengan mudah mendapatkannya meskipun orangtua mampu membelikannya. Ada saatnya mainan didapat dengan cuma-cuma. Namun disaat yang lain sebaiknya melalui proses yang mengandung unsur pendidikan jangka panjang.
Anak sebaiknya dilatih meraih keinginannya dengan usaha sendiri. Baik itu usaha yang sifatnya jangka pendek (keduniaan) seperti mencuci, menyapu dan lain-lain, maupun yang bersifat jangka panjang (ibadah dan akhlak) seperti salat, mengaji dan belajar.
Allah merangsang manusia memperbanyak ibadah dan amal saleh dengan iming-iming surga, dan “menakut-nakuti” dengan neraka. Orangtua ketika memberi reward karena perbuatan baik anaknya, sebenarnya sedang mengikuti “gaya” Allah Swt. dalam memberikan penghargaan atas ketaatan hamba-hamba-Nya. Allah juga mendidik manusia dengan hukuman (neraka) jika mereka melakukan sesuatu yang merugikan masa depannya sendiri dan orang banyak.
Keempat, bisikan. Cara ini bisa dilakukan orangtua ketika ingin menyampaikan materi yang penting dan serius. Bisikan ibu ditelinga anak meskipun lirih tapi sangat jelas terdengar oleh pikiran anak dan menembus hingga ke dalam hatinya. Bisikan ibu yang penuh ghirah dan ilmu akan terpatri dalam sanubari anak.
Kalimat yang simpel dan sederhana jika diucapkan dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan akan masuk dan bersemayam kuat dalam hati dan pikiran. Anak perlu diberi bisikan tentang kehidupan yang sebenarnya.
Apa tujuan dan makna keberadaan manusia di dunia. Anak harus paham bahwa orang beriman datang ke dunia untuk menjadi pemakmur bumi dan menjadi penghuni surga yang sejati.
Bahasa bisikan diajarkan Allah ketika hamba ingin menyampaikan permohonan kepada-Nya. (Q.S. Al-A’raf:55). Permintaan yang sifatnya pribadi dan sangat serius bagi hamba diucapkan dengan bahasa lirih dan penuh kesadaran.
Permintaan seperti ini lebih sering didengar Tuhan. Membuktikan bahwa kekuatan bahasa bisikan sangat besar pengaruhnya jika digunakan dalam kebaikan. Tapi sebaliknya berakibat dosa dan murka jika digunakan untuk membincang kejelekan orang.
Penutup
Melatih anak melakukan perencanaan dalam setiap kegiatan dan mengontrol keinginannya sangat berpengaruh terhadap kehidupan mereka di masa akan datang. Begitu juga Allah Swt. memerintahkan manusia untuk merencanakan kehidupan setelah kematian. Orang yang berhasil adalah mereka yang terbiasa menata hidupnya dengan baik bukan mereka yang hanya memperturutkan segala keinginannya. Wallahu a’lam bisshowab.