Oleh Ustadz Abdullah Hadrami

Dari sahabat Abu Musa Radhiyallahu ‘Anhu, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Sesungguhnya Allah Ta’ala melihat pada malam Nishfu Sya’ban lalu mengampuni semua makhlukNya kecuali orang musyrik dan orang yang ada kebencian”. (HR. Ibnu Majah nomer 1380 dan dinyatakan “hasan” oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ nomer 1819)

Malam Nishfu Sya’ban adalah pertengahan bulan Sya’ban, yaitu tanggal 14 malam 15 Sya’ban. Malam Nishfu Sya’ban adalah malam pengampunan dosa karena Allah mengampuni semua makhlukNya. Hanya saja ada dua kelompok yang Allah tidak memasukkannya dalam orang-orang yang mendapatkan ampunan pada malam itu, yaitu:

  1. Orang musyrik. Orang musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah.
  2. Orang yang ada dalam hatinya kebencian, permusuhan dan kedengkian terhadap sesama muslim tanpa alasan yang syar’i.

Mari kita sambut malam Nishfu Sya’ban dengan bertaubat kepada Allah dari berbagai macam kesyirikan dan kita bersihkan hati kita dari semua kotorannya, terutama kebencian apalagi pemutusan hubungan terhadap sesama muslim.

Salafush Sholeh Menyikapi Malam Nishfu Sya’ban

Salafush Sholeh itu adalah para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Pertama, Para tabi’in dari kalangan penduduk negeri Syam mengagungkan Malam Nishfu Sya’ban dan bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam itu, seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul Asy-Syami dan Luqman bin Amir rahimahumullah.

Bahkan mereka menganjurkan menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah di masjid-masjid dengan mengenakan pakaian terbaik, memakai parfum, memakai celak, dan shalat pada malam itu.

Ishaq bin Rahawaih menyetujui pendapat ini dan berkata tentang shalat secara berjama’ah di masjid-masjid pada malam tersebut: “Bukan bid’ah”.

Sekelompok ahli ibadah dari Bashrah dan lainnya juga menyetujui pendapat ini.

Kedua, Adapun Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah seorang tabi’in yang juga merupakan imam besar penduduk negeri Syam tidak menyukai berkumpul di masjid-masjid pada Malam Nishfu Sya’ban untuk beribadah, berkisah dan berdoa. Beliau lebih cenderung untuk menghidupkan malam itu dengan beribadah sendiri-sendiri, tidak berjama’ah.

Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari: “Pendapat ini lebih mendekati (kebenaran) insya Allah”.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan;
“Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan (mustajab) pada lima malam; malam Jum’at, malam Idul Fitri, malam Idul Adha, malam pertama bulan Rajab dan malam Nishfu Sya’ban”.

Ketiga, Para tabi’in dari kalangan penduduk Hijaz (Mekkah dan Madinah) seperti Atho’ dan Ibnu Abi Mulaikah rahimahumallah mengingkari menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban secara khusus untuk beribadah. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahullah menukil (pengingkaran ini) dari fuqaha (ulama) penduduk Madinah. Para pengikut Imam Malik rahimahullah dan lainnya mengatakan: “Semua itu adalah bid’ah”.

Kesimpulannya,
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan beribadah, shalat dan do’a adalah amalan sebagian Salafush Sholeh, dan sebagian Salafush Sholeh yang lain tidak menyetujuinya.

Jadi, masalah ini sudah ada perbedaan pendapat dari dahulu semenjak zaman Salafush Sholeh. Kalau ada yang mengatakan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban bukan amalan Salafush Sholeh, tentu tidak tepat, karena sebagian Salafush Sholeh menghidupkannya sebagaimana kita lihat.

Demikian intisari penjelasan Ibnu Rajab Rahimahullah dalam kitabnya Latha’iful Ma’arif halaman 263-264.

Semoga bermanfaat menambah wawasan dan menjadikan kita semakin lapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat seperti ini.