Oleh Ustadz Suhairi Umar

Malu dalam bahasa Indonesia artinya merasa sangat tidak enak hati karena berbuat sesuatu yang kurang baik atau segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya. Dalam agama Islam malu adalah bagian dari agama, orang yang memiliki rasa malu pasti akan menuai banyak kebaikan. Akan tetapi, bagaimana malu yang sebenarnya dalam Islam? Malu dibagi tiga macam:

Pertama, malu kepada Allah. Jika seseorang malu kepada Allah, ia akan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sungguh-sungguh rasa malu. Kemudian nabi ditanya, “Bagaimana caranya malu kepada Allah?” Dijawab, “Siapa yang menjaga kepala dan isinya, perut dan makanannya, meninggalkan kesenangan dunia, dan mengingat mati, maka dia sungguh telah memiliki rasa malu kepada Allah Swt.” Malu seperti inilah yang akan melahirkan buah keimanan dan ketakwaan.

Kedua, malu kepada manusia. Jika seseorang memiliki rasa malu kepada manusia, maka ia akan menjaga pandangan yang tidak halal untuk dilihat. Seorang ahli hikmah pernah ditanya tentang orang fasik. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang tidak menjaga pandangannya, suka mengintip aurat tetangganya dari balik pintu rumahnya.” Orang yang punya rasa malu kepada manusia tidak akan berani melakukan dosa di hadapan orang lain. Jangankan dosa, melakukan kebiasaan jeleknya saja dia malu jika ada orang yang melihatnya. Termasuk bagian dari malu kepada manusia adalah mengutamakan orang yang lebih mulia darinya. Menghargai ulama dan orang saleh. Memuliakan orangtua dan gurunya. Merendahkan diri di hadapan mereka. Orang yang masih punya rasa malu kepada orang lain akan dihargai dan disegani. Masyarakat mau mendengarkan pendapat dan nasihatnya.

Ketiga, malu kepada diri sendiri. Ketika orang punya malu kepada dirinya sendiri, dia tidak akan melakukan perbuatan dosa ketika sendirian. Ia malu jika ada orang yang melihat perbuatannya. Dalam kalimat hikmah dikatakan, “Siapa yang melakukan perbuatan ketika sendirian yang ia malu melakukannya saat dilihat orang, maka ia tidak berhak mendapatkan kemulian.” Kalimat hikmah yang lain mengatakan, “Hendaknya malu kepada diri sendiri lebih besar dibanding malu kepada orang lain.”

Rasulullah saw. adalah figur yang sempurna dalam akhlak malu. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ketika sedang duduk bersama sahabatnya. Pada suatu hari beliau lewat dan berpapasan dengan orang yang sedang mandi. Lalu beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah maha hidup, maha lembut, dan maha menutupi. Allah cinta pada rasa malu dan menutup diri. Jika kalian mandi maka lindungilah diri kalian dari pandangan orang.”

Aisyah ra. adalah putri yang sangat pemalu dan menjaga kehormatan dirinya. Suatu saat beliau pernah bercerita, “Ketika aku masuk ke rumahku yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah (suamiku) dan ayahku Abu Bakar, aku menampakkan sebagian auratku, dalam hati aku berkata, “Sesungguhnya aku sedang berada di kuburan suamiku dan ayahku.” Akan tetapi, ketika Umar bin Khattab meninggal dan makamkan di samping suami dan ayahku, aku tidak pernah menampakkan auratku lagi, karena malu kepada Umar.” Bisa dibayangkan akhlak malu yang dimiliki Aisyah, hingga kepada orang sudah berada di dalam kubur.

Inilah tiga macam malu yang dianjurkan. Selanjutnya kita hindari sifat malu yang dilarang. Yaitu malu ketika akan melakukan kebaikan, malu ketika membela ajaran Islam, malu berkata jujur, malu mengingkari kemungkaran dan membela kebenaran. Orang yang malu dalam kebaikan tidak akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Wallahu a’lam.

Referensi:

Umar bin Ahmad Baraja, Al-Akhlak Lil Banin, (Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan Wa Auladuhu, Juz 4, 1385 H.) Hlm. 7-13.